Kategori
Intermezzo Reanimasi

Laughter-induced Syncope

Pingsan karena ketawa atau ketawa sampai pingsan, suatu kondisi yang terdengar seperti bercanda, tetapi faktanya memang ada kondisi medis seperti itu. Penyebab laughter-induced syncope diduga adalah mekanisme vasovagal. Pada saat tertawa terbahak-bahak terjadi  peningkatan tekanan dalam rongga dada yang dapat mengurangi aliran balik vena ke jantung juga menstimulasi baroreseptor pada arkus aorta. Stimulasi baroreseptor ini pada gilirannya menyebabkan tonus parasimpatis yang tidak tepat dengan cara stimulasi saraf vagus yang menghambat pusat saraf simpatik dan meningkatkan kerja saraf parasimpatik. Efek yang dihasilkan adalah menurunnya frekuensi denyut jantung serta kekuatan kontraksi jantung, dengan diikuti vasodilatasi, sehingga terjadi penurunan resistensi perifer dan menyebabkan penurunan perfusi serebrovaskular mendadak dan hilangnya kesadaran. Batuk, bersin, dan olah raga angkat besi juga dapat memicu mekanisme yang sama.

Kasus laughter-induced syncope ini sangat langka, pernah dilaporkan oleh Haddad, terjadi pada seorang laki-laki berusia 58 tahun pada tahun 2013 di Amerika Serikat. Pasien ini cukup sehat secara fisik, tidak memiliki riwayat penyakit atau operasi berarti, dan tidak dalam pengobatan rutin penyakit tertentu, serta tidak merokok atau minum minuman keras. Dalam riwayat keluarga dilaporkan dalam keluarganya ada riwayat penyakit hipertensi dari pihak ibu, dan hipotensi dari pihak ayah. Pasien ini dibawa ke klinik dengan keluhan hilang kesadaran berulang pada saat tertawa terbahak-bahak. Kejadian ini tidak didahului tanda-tanda tertentu dan berlangsung selama 2-3 menit. Pasien akan sadar penuh dan merasa agak lemah 20-30 menit kemudian.

Orang yang berisiko mengalami laughter-induced syncope adalah mereka yang memiliki gejala dan riwayat penyebab sinkop yang lebih serius termasuk riwayat keluarga yang meninggal mendadak, nyeri dada atau palpitasi sebelum atau selama kejadian, sesak napas, kejang, murmur jantung, defisit neurologis fokal, dan kehilangan kesadaran yang berlangsung lebih dari 5 menit. Jika memiliki riwayat sakit jantung sebelumnya, laughter-induced syncope dapat berakibat terjadinya serangan jantung dan kematian.

Apa bisa diobati? Kelainan ini hanya dapat diatasi dengan mencegah, yaitu jangan tertawa berlebihan dan atasi semua faktor risiko agar terkontrol dan tidak membahayakan. Jika terjadi serangan, baringkan pasien di tempat yang datar, kalau perlu posisikan kepala lebih rendah. Pingsan karena tertawa mungkin kondisi yang aneh tapi bisa saja terjadi.

Sumber:

Haddad C, Haddad-Lacle JEM. Laughter-induced Syncope. BMJ Case Rep 2013

Gambar dari Peanuts @Snoopy (on twitter)

Kategori
Reanimasi

Departure

Ada sebuah kalimat pembuka dari film Critical Eleven, sebuah karya adaptasi dari novel dengan judul yang sama dari penulis Ika Natassa, kira-kira begini bunyinya: “Aku adalah salah satu orang aneh yang menyukai bandara. Ada sesuatu yang terasa menenangkan dan membebaskan. Bahkan saat aku di situ untuk terbang demi urusan pekerjaan, bandara itu seperti tempat peristirahatan sementara.” Kalimat ini langsung mengena di hati saya, karena sama persis seperti apa yang saya rasakan setiap kali duduk di bandara menunggu penerbangan saya selanjutnya ke kota-kota yang akan saya datangi, di mana petualangan dan pengalaman baru akan saya temui. Menunggu di bandara-bandara internasional yang luas, indah dan modern sambil melihat orang-orang dari berbagai bangsa dan bahasa lalu lalang sangat menyenangkan.

Dalam hidup, saya telah meninggalkan salah satu bandara yang cukup lama saya nikmati – bahkan bisa dibilang terlalu lama, sebuah zona nyaman, untuk melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya, PPDS lyfe. Meneruskan pendidikan di akhir batas usia (alias sudah tidak muda lagi) tentu bukanlah hal yang mudah, meskipun tidak ada beban yang saat ini harus saya tanggung. Apalagi pendidikan dokter spesialis di Indonesia, terutama di bidang yang saya pilih, tidaklah ringan, baik fisik maupun mental. Saya perlu waktu setahun lebih untuk memantapkan hati mendaftarkan diri. Bahkan di pertengahan tahun 2019 saya putuskan untuk berkelana sendirian ke Eropa guna menenangkan pikiran, menguatkan hati, sekaligus merayakan ulang tahun di musim panas saat itu.

Cukup lama saya menunda ‘keberangkatan yang selanjutnya’ setelah kegagalan yang saya alami beberapa tahun lalu – walaupun sudah jelas saya putuskan, saya akan berputar haluan dan mulai mempersiapkan diri. Ada saja alasan di benak saya yang membuat saya ragu untuk melangkah: otak sudah beku karena kelamaan nggak dipakai, sulit untuk mikir; malas belajar; nggak tahan dingin – padahal di ruang operasi dan ICU suhunya bisa 16-18˚C. Belum lagi banyak yang bilang PPDS itu capek dan lama dengan biaya yang sangat besar. Secara fisik kita juga dikuras habis – mengurusi pasien sejak subuh sampai larut malam. Belum lagi tekanan mentalnya. Zero mistake karena ini urusan nyawa, sehingga sedikit saja kesalahan dapat berakibat ‘dimakan’ oleh senior, bahkan jika fatal bisa saja di-grounded tertunda 1-2 semester, bahkan Drop Out.

Saya masih harus mengalami dua kali kegagalan lagi sampai berhasil diterima di program studi yang saya pilih. Mungkin bisa jadi karena saya kurang bersungguh-sungguh dalam berusaha, atau memang sudah takdir dari Yang di Atas. Yang jelas saya sudah berupaya untuk tetap maju, apapun yang terjadi, walaupun kadang tekad itu kehilangan kekuatannya.

Motivasi tinggi sesungguhnya seringkali hanya terucap dalam kata-kata, tapi tidak pada perwujudannya. Kalau kita sering melihat atau mendengar seseorang mengucapkan kata-kata yang positif, kalimat-kalimat yang memotivasi, bisa saja kata-kata itu bukan ditujukan kepada orang lain, melainkan untuk menguatkan dirinya sendiri. Dia sadar dirinya goyah, lemah, dan kehilangan motivasi, sehingga ia mengucapkan kata-kata yang menguatkan untuk dia dengar sendiri. Saya pun demikian, butuh motivasi dari dalam diri saya sendiri agar tetap berusaha lebih keras di banding sebelumnya.

“Airport is the least aimless place in the world. Everything about the airport is destination,” lanjut Ika dalam novelnya. Lalu apa destinasi yang ingin saya tuju? Biarlah saya simpan jawabannya dalam hati. Tentu saja mirip seperti yang kebanyakan orang pikirkan. Hanya saja mungkin lebih sederhana: menikmati hari demi hari dengan kegiatan yang menyenangkan, pekerjaan yang disukai, kesibukan yang membuat stres tapi diganjar rasa plong dan puas pasca adrenalin rush. Semoga saya bisa termotivasi untuk lebih baik lagi, lebih giat dan tekun, lebih banyak membaca dan menulis, mengisi waktu dengan lebih produktif.

PS. Sepertinya tokoh Tanya Laetitia Baskoro Risjad dalam novel Critical Eleven berkepribadian INTJ. Terasa ‘gue banget’ untuk hal-hal yang dia sukai dan dia benci. Hanya di saya kurang Ale-nya saja. Haha.

Kategori
Books section

Lethal White

[Resensi] ‘Harta, tahta, wanita, ketika keserakahan dapat berujung maut.’

Strike yang kian terkenal setelah memecahkan kasus pembunuhan berantai Shacklewell Ripper dan Robin yang telah menikahi tunangannya kini melanjutkan hidup sebagai partner kerja di kantor detektif Cormoran Strike. Kasus-kasus berdatangan mengiringi kesuksesan mereka mengungkap pembunuhan mutilasi berantai sebelumnya. Banyak pekerjaan sepele tapi memakan waktu dan cukup melelahkan datang ke kantor Strike, sampai suatu ketika seorang pemuda dengan gangguan mental tiba-tiba menyelonong ke kantor Strike dan mengaku telah menyaksikan pembunuhan bertahun-tahun silam. Sayangnya tidak ada petunjuk yang dibawa, bahkan ia pun seketika menghilang tanpa jejak.

Tidak lama berselang seorang Menteri menyewa jasa Cormoran Strike untuk mengungkapkan kasus pemerasan yang dialaminya. Siapa sangka Menteri ini ternyata memiliki kaitan dengan Billy, pemuda misterius yang pernah mencari Strike tapi keburu menghilang sebelum memberikan keterangan yang kredibel. Iming-iming imbalan yang pantas dari bapak Menteri dan rasa penasaran akan sosok Billy dan pembunuhan yang dibicarakannya membuat Strike dan partnernya, Robin, berupaya keras membongkar kasus-kasus tersebut.

Ada korban yang terbunuh. Ada misteri yang harus dipecahkan. Ada banyak hal yang digali dari dalam kantor Kementerian yang megah di pusat kota London sampai ke desa yang jauh di pedalaman, punya benang merah meski tampak seolah tidak berkaitan langsung. Di sini kemampuan Strike dan Robin memecahkan kasus diuji. Analisis yang teliti, pencarian yang mendalam, dan bahaya yang begitu dekat harus dilalui oleh Strike dan Robin, dengan sedikit bantuan dari beberapa sahabat.

Apa dosa sang Menteri sehingga ia menutup rapat alasan pemerasan yang dialaminya? Apa kaitan antara seorang politikus ternama dengan Billy yang berasal dari pedesaan dan terganggu jiwanya? Bagaimana Robin mengatasi masalah saat harus menyamar di kantor Kementerian atau saat kembali harus bertemu langsung dengan seorang pembunuh sadis? Bagaimana kelanjutan hubungan rumit Strike dan Robin?

Lethal White Syndrome adalah suatu kelainan genetik pada kuda yang menyebabkan kematian tidak berapa lama setelah lahir. Cirinya adalah kulit kuda tersebut berwarna merah muda tanpa pigmen dan bulunya sebagian besar berwarna putih sehingga sekilas tampak seperti kuda putih biasa. Penyebab kematiannya adalah kelainan pada sistem pencernaan. Langka dan melegendanya Lethal White membuatnya menjadi objek lukisan klasik dan dipilih menjadi judul novel ini. Alur cerita novel ini mirip alur cerita dalam drama korea dimana banyak kebetulan bermunculan. Strike mendapat 2 klien untuk 2 kasus berbeda tapi ternyata keduanya berpusat pada satu orang tersangka. Dalam novel ini kreativitas dan kecermatan JK Rowling dalam meramu sebuah kisah misteri kembali dibuktikan. Ketegangan dan teka-teki yang disusun dengan detil dalam novel ini cukup menghanyutkan kita menyelami 704 halaman novel ini sampai selesai. Saya beri 4 dari 5 bintang untuk novel ini.

  • Judul: Kuda Putih (Lethal White)
  • Pengarang : Robert Galbraith (Nama alias dari J.K. Rowling)
  • Alih bahasa: Siska Yuanita
  • Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
  • Tahun terbit : 2019
  • Tebal : 704 Halaman
  • ISBN : 9786020631097 

Resensi tiga novel sebelumnya ada di bawah ini

Kategori
Books section

Career of Evil

[Resensi] ‘Masa lalu yang menyakitkan harus dikalahkan agar bisa melangkah maju.’

Robin Ellacott, asisten cantik di kantor detektif Cormoran Strike mendadak menjadi sasaran teror. Ia menemukan sebuah paket berisi potongan tungkai perempuan bersama sebaris kalimat dari lirik lagu lama yang gelap.

Hanya ada 4 tersangka, namun keempatnya digambarkan sebagai sosok yang suram, abnormal, berperangai buruk dan kejam. Keempat tersangka kuat itu ternyata berkaitan dengan masa lalu Strike dan tentu saja punya alasan khusus untuk membenci si detektif pincang dan berupaya menghancurkannya. Sayangnya pihak kepolisian tidak setuju dengan teori dan analisis Strike dan hanya memilih salah satu tersangka yang dianggap paling dekat hubungannya dengan kasus tersebut. Karenanya mau tak mau Strike dan Robin, asistennya yang sangat tertarik akan kasus tersebut melakukan penyelidikannya sendiri terhadap ketiga tersangka lainnya.

Ketika dalam proses pelacakan para tersangka, pembunuhan brutal kembali terjadi, dengan korban dan jejak pembunuhan yang mirip. Tanpa barang bukti, tanpa tanpa saksi dan jejak DNA pelakunya, Strike dan Robin terpaksa berupaya lebih intensif dalam melakukan pengintaian menegangkan, hingga mendorong Robin menyerempet bahaya dan membuka kembali luka lamanya yang kelam. Pers yang ikut campur pun turut memperburuk keadaan. Kondisi yang berat itu membawa Robin ke persimpangan antara pasrah akan kelemahannya atau menguatkan diri berpacu dengan waktu mengungkap siapa psikopat pembunuh berantai itu sebelum korban lain berjatuhan.

Sebagai seorang pria bertubuh besar, seorang mantan tentara, Strike merasa bersalah dan tidak berdaya melihat Robin yang ia pedulikan berada dalam situasi berbahaya, terluka, dan terancam nyawanya. Rasa bersalah Strike dan keras kepalanya Robin menimbulkan pergesekan yang tak terelakkan di dalam kantor detektif Strike yang sempit. Tak pelak hubungan profesional mereka terganggu ketika hati turut berbicara.

Novel ini adalah seri Cormoran Strike yang ketiga. Setelah sekian lama blog ini hiatus, saya putuskan untuk menulis lagi dan melanjutkan resensi beberapa novel koleksi saya. Salah satu ciri khas JK Rowling adalah menggambarkan narasinya serba kelam, suram, dan mencekam. Deskripsi yang detil dalam novel serial ketiga dari kisah detektif Cormoran Strike ini benar-benar membuat pembaca membayangkan lorong-lorong yang gelap dan kumuh di mana orang-orang sakit jiwa bersembunyi di kegelapan, menunggu mangsa untuk menjadi sasaran kekejiannya. Pun pencarian yang panjang dan sedikit melelahkan terhadap pelakunya membawa kita mengarungi 512 halaman novel tebal ini dengan rasa penasaran. Saya beri 4 dari 5 bintang untuk novel ini.

  • Judul: Titian Kejahatan (Career of Evil)
  • Pengarang : Robert Galbraith (Nama alias dari J.K. Rowling)
  • Alih bahasa: Siska Yuanita
  • Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
  • Tahun terbit : 2016, 2019
  • Tebal : 512 Halaman
  • ISBN : 9786020326368

Resensi dua novel sebelumnya ada di bawah ini

Kategori
Intermezzo

Dream Catcher

Dream catcher adalah hiasan gantungan berjuntai berbentuk rajutan jaring laba-laba pada satu atau beberapa buah lingkaran (gelang) bertingkat yang diberi hiasan bulu ayam di bagian bawahnya. Dream catcher berasal dari legenda di suatu suku Indian Amerika dan dijadikan jimat yang dipercaya dapat menjaga kita dari mimpi buruk saat sedang tidur. Menurut kepercayaan lain, dream catcher diyakini dapat menangkap energi positif dan membantu kita mewujudkan mimpi-mimpi baik.

Terpikir menulis soal dream catcher ini ketika melihat notifikasi di Facebook, pada tanggal 12 Maret 2013 saya pernah memposting sebuah quote sarkasme (yang saya lupa sumbernya dari mana): “According to Astronomy, when you wish upon a star, you’re actually a few million years too late. That star is dead. Just like your dreams.” – Anonymous.

Mengapa demikian? Karena mimpi tetap hanyalah mimpi kalau kita hanya berharap tetapi tidak melakukan apa-apa untuk mewujudkannya.

Alih-alih bertanya-tanya: ‘Kapan ya, aku bisa kaya?’ ‘Kapan ya, aku bisa jalan-jalan ke luar negeri?’ ‘Kapan ya, aku bisa beli mobil?’ ‘Kapan ya, aku bisa punya rumah impian?’ dan pertanyaan ‘kapan-kapan’ lainnya. Pernahkah kalian bertanya kepada diri sendiri: apa yang sudah saya lakukan untuk meraih mimpi? Apa yang bisa saya lakukan agar mimpi itu bisa diwujudkan? Apa yang harus saya lakukan hari ini dan besok untuk membuat mimpi-mimpi saya menjadi kenyataan?

Setelah menjawab itu, baru kita pilah, mana impian yang realistis dan mana yang mustahil untuk diwujudkan. Selanjutnya yang harus kita lakukan adalah melupakan mimpi-mimpi yang mustahil itu, karena tidak ada gunanya dan hanya akan membuang waktu saja. Sebaliknya kita tinggal susun plan untuk meraih mimpi lainnya yang masih mungkin kita gapai. Saya tidak akan menjabarkan bagaimana caranya di sini, karena setiap orang punya metodenya masing-masing. Kalau masih belum bisa membayangkan, coba buka youtube dan cari video motivator-motivator sukses (kalau saya dulu sering menonton acaranya Tung Desem Waringin). Susun plan anda, motivasi diri agar cita-cita dan harapan anda dapat diwujudkan.

Maaf merusak kebahagiaan anda yang senang bermimpi, saya hanya ingin kita semua menjadi realistis. Berhenti bermimpi, tapi mulailah berusaha, bekerja keras mewujudkan apapun impian anda. Wake up and stop dreaming!

Alpine mountains
Alpine mountains

Epilog: Impian itu ibarat puncak gunung – ada banyak dan semuanya indah, tapi tidak mungkin semua bisa kita capai. Pilih 1-2 yang masih memungkinkan untuk didaki, cari caranya, putar otak, cari jalur pendakiannya, lalu coba. Banyak hal di dunia ini yang kelihatannya mustahil tapi ternyata bisa jadi kenyataan. Jangan terlalu cepat menyerah.

Kategori
Reanimasi

Brotherhood

Sudah menjadi tradisi dalam lingkungan tenaga kesehatan khususnya dokter, ada hierarki senioritas yang umumnya ditentukan oleh angkatan mulai pendidikannya. Miriplah kayak di drakor-drakor, ada istilah sunbae-dongsaeng. Di lingkup center pendidikan tertentu, senioritas sudah jadi rahasia umum sering disalahgunakan dan dijadikan tradisi bagi senior untuk memberi perintah kepada junior, baik untuk kepentingan akademik maupun di luar akademik. Kadang perintahnya bagaikan titah bangun 1000 candi dalam satu malam, alias mepet, bikin junior kelabakan. Namun saat ini, di kala isu bullying dan dampak negatifnya menjadi concern di berbagai penjuru dunia, pelan-pelan tradisi ini mulai dihilangkan.

Di lingkungan residensi, khususnya di tempat saya menempuh pendidikan saat ini, memerintah junior dengan semena-mena di luar tugas wajib adalah hal yang diharamkan. Sebaliknya para senior diminta untuk lebih aktif memberikan bimbingan keilmuan kepada para juniornya.

Di luar urusan akademik juga ada kegiatan ekstrakurikuler beberapa cabang olah raga, beberapa hari dalam seminggu. Hampir tiap hari ada latihan, sampai kadang bingung, kita ini masuk residensi apa masuk pelatnas pra olimpiade? Namun meski olah raga is not my passion, kami tetap berusaha hadir dan terlibat, minimal ada perwakilan kelompok. Kesempatan ini digunakan untuk berkumpul bagi para residen dari berbagai angkatan yang memiliki minat yg sama, karena hubungan baik dan timbal balik di dalamnya harus diutamakan dalam dunia residensi.

Kelompok angkatan saya yang hanya berisi 9 orang, entah kenapa akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian. Beberapa senior “mengantri” ingin memberikan bimbingan di sela-sela padatnya jadwal kuliah dan ekstrakurikuler. Mungkin karena 3 dari 9 orang teman saya adalah lulusan dari universitas tempat kami menempuh ilmu saat ini, dan anggota yang lain juga mengenal beberapa senior satu universitas asal saat S1. Di luar itu adalah para senior yang kami kenal dari kegiatan di luar RS atau hanya sekedar sifatnya baik saja, dengan antusias ingin mengajari para juniornya yang cupu-cupu menghanyutkan ini. Haha. Tapi junior kurang ajar ini sering menawar untuk menunda pertemuan via zoom karena alasan ‘sibuk’.

Setiap hari Senin sampai Jumat selama 3 bulan pertama ada perkuliahan dasar umum yang dilakukan daring akibat pandemik. Setiap hari diisi 3 mata kuliah, masing-masing dengan alokasi waktu 2 jam. Namun ada kalanya profesor ataupun dokter pengampu demikian bersemangatnya memberikan kuliah sehingga waktunya masing-masing bertambah sampai 3 jam. Satu mata kuliah saja sudah pusing, ini 3 mata kuliah, sejak pagi sampai sore. Padahal semenjak kuliah S1 dulu otak saya tidak pernah bekerja keras. Bahkan sejak lulus dokter, otak saya jarang dipakai. Mendadak harus menyerap ilmu-ilmu sulit bertubi-tubi, rasanya bagaikan disuruh berlari marathon 10 km sambil menggendong ransel 40 L. Capek, Cuy!

Lalu mendadak suatu sore salah satu teman sekelompok saya dihubungi oleh seorang senior yang siap memberikan bimbingan hanya berselang 30 menit setelah kuliah selesai. Oh tidak, otak saya langsung terasa seperti sedang kerja romusha. Tapi apa boleh buat, kesempatan seperti ini tidak boleh disia-siakan. Untunglah senior yang mau mengajari ini kinclong, mirip-mirip aktor Taiwan, saya nggak jadi ngantuk. Hehe.

Kategori
Reanimasi

Reanimation

Hampir 3 tahun nggak nulis blog. Antara hilang minat atau terdistraksi oleh tontonan drakor dan hobi traveling selama ini; seakan tidak ada pengalaman seru dan lucu yang bisa dibagikan, padahal ada ribuan momen yang pasti menyenangkan untuk diceritakan kembali.

Oke, saya coba lagi. Ini adalah bagian dari niat saya sejak 10 tahun lalu, yaitu menulis pengalaman saat koas yang ternyata gagal saya wujudkan, lalu niat menuliskan pengalaman saat PTT – tapi juga ternyata tidak seseru yang saya bayangkan, hingga niat saya ingin menulis keseharian resident life jika keterima PPDS – yang baru akan saya lakukan.

Reanimasi adalah ilmu yang mempelajari tentang cara mengembalikan hidup seseorang – to bring someone back to life, umumnya berupa tindakan resusitasi pada seseorang yang sedang dalam keadaan hampir meninggal. Reanimasi juga dilakukan pada tindakan pembiusan, di mana pasien dibuat tidak sadar, berhenti bernapas, tidak bisa merasakan apa-apa seolah mati, lalu dikembalikan lagi fungsi kehidupannya seperti sedia kala.

Menggenggam nyawa seseorang dengan demikian heroiknya adalah alasan utama saya pada akhirnya memilih PPDS Anestesi sebagai jalur karir dan kehidupan saya ke depannya. Seram? Sadis? Aneh? Demikianlah faktanya, seorang dokter belajar bagaimana caranya menghentikan proses kematian sedemikian rupa agar kondisinya dapat dikembalikan ke tahapan yang lebih tinggi dan mendapatkan harapan hidupnya kembali. Terlihat mudah kalau sudah menguasai ilmu resusitasi kardio pulmonal, resusitasi serebral, hingga resusitasi tingkat seluler. Ilmu ini sangat rumit, butuh waktu bertahun-tahun untuk mempelajarinya. Sedangkan pengaplikasiannya pada pasien boleh jadi hanya dalam hitungan menit. Karena jika terlambat, maka nyawa pasien tidak akan dapat diselamatkan.

Guru yang mengajari saya tentang tahapan menuju kematian adalah Prof. DR. dr. R. Eddy Raharjo, Sp.An. KIC (ya, saat ini saya resmi melanjutkan pendidikan Anestesiologi dan Terapi Intensif di salah satu PTN di Surabaya). Ada satu kalimat yang menarik yang beliau sampaikan dalam kuliah baru-baru ini: “Kita melakukan resusitasi adalah untuk ‘buying time’ – membeli waktu”. Saya setuju dengan pernyataan beliau. Pada pasien kritis, kita mengupayakan segala macam cara untuk menunda kematian, mengembalikan kehidupannya, memperpanjang waktu yang dimiliki pasien untuk tetap bersama keluarganya. Buying time ini juga digunakan untuk mengatasi penyakit utamanya, jika memang bisa disembuhkan. Menggenggam nyawa seseorang – do someone good. Dengan demikian, ilmu Anestesiologi dan Reanimasi bukan hanya soal bius membius, tapi juga tentang menyelamatkan nyawa, mempertahankan kehidupan.

Dari sini kisah saya dimulai, semoga semua lancar dan menyenangkan; dan semoga saya punya waktu dan semangat untuk bercerita tentang suka duka residen Anestesi. Mungkin tidak lucu, tapi saya tidak ingin blog ini menjadi terlalu serius dan membosankan. Welcome back Docgoblog that becoming your future anesthesiologist.

NB. Baru sekarang saya paham arti judul album Linkin Park tahun 2002, Reanimation.

Kategori
Jalan-jalan

Traveling ke Jepang

Chureito Pagoda, Arakurayama Sengen Park, Fuji-Kawaguchiko

Jepang adalah salah satu negara dengan biaya hidup tertinggi di dunia, tapi tetap saja jadi destinasi wisata dambaan hampir semua orang. Pariwisata Jepang sangat didukung oleh promosi dan moda transportasi umum yang sangat mudah bagi turis. Oleh sebab itu tidak sulit untuk traveling ke Jepang tanpa menggunakan jasa tour.

Kota-kota di Jepang sangat nyaman dan aman, dengan cuaca yang sejuk di musim semi dan gugur, juga udara yang relatif bersih, serta taman cantik yang tersebar di seluruh sudut kota. Faktor keamanan dan keselamatan diutamakan dalam segala aspek. Para petugas selalu siaga dan waspada untuk memastikan bahwa aturan keselamatan dijalankan dengan benar. Contohnya petugas penjaga peron kereta. Dengan serius ia menggerakan tangan menunjuk tepi rel kereta dari ujung ke ujung dan menatap lurus searah dengan gerakan tangan disertai ucapan kata-kata yang memastikan tidak ada calon penumpang yang berdiri di depan garis kuning (terlalu dekat ke rel) dan membahayakan diri.

Kota-kota di Jepang sangat bersih dan teratur. Penduduknya taat dalam urusan membuang sampah. Tidak ada yang membuang sampah bahkan robekan kertas kecil sekalipun di sembarang tempat (kecuali yang tidak sengaja diterbangkan angin kencang). Sampah botol plastik dan kaleng minuman dipisah sedemikian rupa sejak dari rumah masing-masing. Kertas, plastik, kaca/beling, dan logam, semua didaur ulang. Meski tidak ada ancaman denda apapun seperti di Singapura, warga Jepang dengan sadar dan tertib menaati setiap aturan yang berlaku. Keteraturan membuat hidup lebih mudah dan nyaman. Setiap orang sadar, merugikan orang lain akan merugikan diri kita sendiri. Keluar dan masuk kereta dengan tertib, tidak ada yang berebut giliran antri, tidak ada yang menghalangi jalan di eskalator, tidak ada yang boleh nyelonong di jalan, tidak mengganggu kenyamanan orang lain (tidak merokok, tidak mengobrol dengan nyaring, dan tidak membunyikan ponsel di tempat umum). Setiap orang tidak boleh mengambil hak orang lain, termasuk hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih.

Sama seperti negara-negara Eropa dan negara maju lainnya, pejalan kaki akan selalu mendapatkan haknya selama menaati rambu lalu lintas. Mobil-mobil akan mengalah kepada pejalan kaki yang akan menyeberang, kecuali ada rambu yang melarang pejalan kaki untuk menyeberang jalan. Mayoritas penduduk Jepang menggunakan alat transportasi umum yang dikombinasikan dengan berjalan kaki atau bersepeda sejauh 1-2 km, karena itu disediakan fasilitas trotoar yang bersih, nyaman, bahkan bersahabat bagi difabel.

Soal makanan, kecuali sushi dan sashimi yang mentah, selera orang Jepang mirip dengan lidah orang Dayak: suka makanan asin dan berkuah. Makanan utamanya adalah nasi dengan ikan dan sayuran yang dioseng atau direbus, ditemani semangkuk kecil sup miso dan rumput laut. Mungkin karena pernah dijajah oleh Jepang, waktu kecil dulu saya sering dibuatkan nenek nasi kepal yang diisi suwiran ikan asin, mirip onigiri, hanya saja waktu itu di Kalimantan tidak ada nori (olahan rumput laut kering yang rasanya gurih). Minuman orang Jepang tidak jauh dari teh (ocha/matcha) dan sake (mirip tuak). Snack yang populer di Jepang selain mochi adalah semacam crackers yang terbuat dari tepung beras, dipanggang, lalu ditaburi garam. Rasanya mirip rengginang. Kadang diberi perisa seafood, tapi… Tetap saja rasanya mirip rengginang.

Tempat-tempat wisata andalan di Jepang hampir sama saja di setiap kota, yaitu kuil dan kastil. Dan saya tambahkan Starbucks sebagai pelengkap, karena di manapun pasti bertemu dengan gerai kopi ini. Bahkan Jepang punya list gerai Starbucks terindah di setiap penjuru negara ini. Jika berkunjung ke lebih dari dua kota atau bahkan sampai berkeliling Jepang, pasti akan bosan jika hanya mengunjungi dan berfoto di kuil dan kastil. Tapi memang ada beberapa spot wisata yang memiliki keunikan tersendiri. Entah karena ciri khas bangunannya, seperti Sensoji Temple di Tokyo atau Fushimi Inari di Kyoto; karena lokasinya indah dan pernah menjadi tempat syuting film-film box office seperti Arashiyama Bamboo Grooves dan Gion; pemandangan Gunung Fuji seperti di Fuji-Kawaguchiko; atau karena ada ikon makanan khasnya seperti kepiting di Dotonbori Osaka dan Ramen museum di Yokohama. Berbelanja atau hanya cuci mata pun bisa jadi alternatif.

Hampir semua kuil dan kastil di Jepang dihiasi taman dan ditanami pohon-pohon Sakura, indah sekali jika berkunjung pada awal musim semi. Setelah bunga-bunga Sakuranya rontok, barulah daun-daun hijaunya bertunas, sehingga pohon Sakuranya akan tampak seperti pepohonan biasa. Pada awal musim gugur, pepohonan di Jepang akan berganti warna-warni dan kembali memancarkan keindahannya sebelum dedaunannya layu dan rontok menjelang musim dingin. Itulah kenapa puncak musim wisata ke Jepang adalah saat musim Sakura (hanami) dan pada awal musim gugur (momiji).

Berapa biaya jalan-jalan ke Jepang?

Gambaran biaya wisata ke Jepang hampir sama dengan yang bisa kita lihat di promo-promo tur ke Jepang. Untuk backpacker, biasanya dapat menekan biaya di ongkos penginapan dan makan. Biaya menginap di hostel atau hotel kapsul umumnya ‘hanya’ sebesar Rp.350-500 ribu per orang per malam. Tapi harus rela sekamar dengan orang asing, dengan ranjang tingkat mirip asrama, dan kamar mandi di luar. Jika pergi 2-6 orang, bisa memilih kamar private atau dorm dengan 3-6 bed (tetap pakai kamar mandi umum di luar). Keuntungan di hostel adalah biasanya disediakan dapur umum dengan kompor + alat masak, microwave, gratis kopi+teh+gula+krimer, gratis sabun mandi + shampo, serta tersedia kulkas untuk menitipkan bahan makanan. Cocok untuk mereka yang sulit beradaptasi dengan makanan setempat atau ingin berhemat dengan membawa bahan makanan dari rumah (bisa juga membeli bahan masakan di minimarket terdekat). Makan di restoran berkisar antara Rp.100-500 ribu per orang. Biaya transportasi kereta dalam kota masih di kisaran Rp.100 ribu per hari, lebih mahal lagi jika naik taksi, sewa mobil, atau ada perjalanan ke luar kota dengan Shinkansen. Biaya masuk tempat wisata masih di kisaran kurang dari Rp.100 ribu, kecuali masuk ke theme park yang biasanya di kisaran satu jutaan. Jadi total biaya yang dibutuhkan untuk jalan-jalan ke Jepang bisa dihitung sendiri bukan?

Gloomy Kanazawa

NB: Saya heran dengan orang-orang yang termakan isu dan propaganda yang menyebutkan bahwa negara kita semakin susah, kehidupan masyarakat semakin sulit, Indonesia akan bubar tahun 2030. Sebegitu beratnyakah beban hidupmu? Atau kamu memang kurang piknik? Sampai begitu pesimisnya sehingga selalu berprasangka buruk? Kehidupan masyarakat di kampung saya di pedalaman Kalimantan saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan 20 tahun yang lalu. Jika saat ini banyak orang miskin, jaman dulu lebih banyak lagi orang yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Buktinya, selama saya di Jepang, di setiap kota pasti bertemu dengan beberapa grup orang Indonesia. Bahkan di Chureito Pagoda, selama hampir 2 jam saya di sana, setidaknya 20% pengunjungnya adalah orang Indonesia. Sebagian di antaranya adalah backpacker, yang tentu saja bukan orang kaya.

Sungguh 10-20 tahun yang lalu tidak pernah terbayang bisa jalan-jalan ke luar negeri. Tapi sekarang semua orang boleh bermimpi dan berhak mewujudkannya.

Baca juga: traveler wanna be; impian ke luar negeri; tips menabung

Kategori
Jalan-jalan

​Hasil Survei Harga Kaos Jogja

Yogyakarta atau yang biasa kita sebut Jogja saat ini adalah salah satu destinasi wisata populer di Indonesia. Selain menjual wisata budaya, keraton, candi, alam, dan kuliner, Jogja juga menjadi sentra cinderamata berupa berbagai jenis kerajinan tangan, serta yang paling laris berupa batik dan kaos. 

Saya sedang berlibur ke Jogja bersama seorang teman kerja yang berstatus ibu-ibu doyan belanja. Hasil dari keluar masuk toko batik dan kaos serta berkelana di jalan Malioboro, saya dapat menyimpulkan bahwa harga kain batik (bahan) maupun pakaian batik jadi bervariasi, ada rupa ada harga. Beda merk beda kualitas kain, warna, corak, maupun jahitan. Lebih baik dibanding-bandingkan dengan toko sebelah sebelum memilih. 

Lain halnya dengan kaos. Kaos khas Jogja yang populer pertama kali adalah merk Dagadu, dengan sablonan bertuliskan kata-kata maupun kalimat unik dan lucu. Setelah itu bermunculanlah merk-merk lain dengan kualitas dan harga yang bervariasi. Jika untuk kualitas kaos kita beri penilaian dari A sampai E, berikut ini adalah variasi harga yang kami dapatkan untuk dijadikan standa​r harga kaos dewasa dan di mana tempat membeli yang murah. Kaos termahal dengan kualitas bagus (jahitan rapi dan bahan halus) saya asumsikan bernilai A, seharga sekitar 50-60 ribu bisa ditemukan di sekitar jalan Malioboro maupun sentra kaos merk terkenal (yang katanya asli). Mahal karena merk atau karena orisinalitas. Sedangkan kaos termurah saya temukan di area pintu keluar Candi Prambanan, hanya 15 ribu/buah, untuk kualitas E+ yang sedikit lebih baik dibanding kaos partai saat menjelang pemilu. Untuk nilai Berikutnya nilai B+ saya berikan kepada merk JR yang berbahan halus dan tebal dan saya dapatkan seharga (pas) 35 ribu di Malioboro. Kualitasnya mirip kaos suvenir dari Universal Studio Singapura. Nilai B saya berikan untuk kaos-kaos merk CP baik yang sablon maupun bordir dengan harga sekitar 35 ribu juga (mungkin masih bisa ditawar 100 ribu dapat 3), banyak dijual di sepanjang jalan Malioboro. Nilai C+ saya berikan untuk merk JM yang dibanderol seharga 30 ribu (satuan, dijual lebih murah jika beli puluhan), tokonya ada di jalan Dagen, Malioboro, bahan halus tapi lebih tipis dibandingkan merk JR. Lalu nilai C untuk merk OB yang sayangnya dijual kemahalan, yaitu 50 ribu/buah di daerah Suryoputran (sejalur jika naik becak putar-putar dari Malioboro-keraton-batik/kaos-bakpia). Kaos di toko yang sama, yang dijual 25 ribu/buah pun kualitasnya setara D bagi saya. Ah, lebih baik mengubek-ubek kaos di jalan Malioboro. Apalagi sekarang kebanyakan para pedagang kaos sudah mematok harga pas, tidak perlu repot menawar lagi. 

Kalau jalan-jalan di seputaran Malioboro akan ada banyak tukang becak yang menawarkan tumpangan ke sentra batik dan kaos di daerah Suryoputran hingga ke sentra bakpia dan tidak lupa mampir ke Keraton Yogyakarta hanya dengan 10 ribu perak bolak balik. Murah. Tapi untuk beli oleh-oleh kaos, yang termurah saya dapatkan di kawasan Candi Prambanan (sore menjelang tutup), yang kedua di kawasan Malioboro. Untuk pakaian batik anak-anak berbahan tipis dan dingin seperti kain bali, di daerah Suryoputran saya terlanjur membeli seharga 40 ribuan. Padahal barang yang sama dijual hanya seharga 15 ribu di Prambanan. Entah memang harganya segitu atau karena penjualan sepi saat bukan musim libur sehingga para pedagang suvenir di Candi Prambanan banting harga. Sore hari menjelang Candi Prambanan tutup, gantungan kunci dan gelang tali dijual seharga 1 ribu, sendal-sendal Jogja dan kalung-kalung aksesoris dibandrol hanya 10 ribu. Bahkan hiasan mobil-mobilan dan helikopter kayu ditawarkan hanya 5 ribu perak!

Kembali bicara soal kaos Jogja, saya belum menemukan kaos katun tipis dan dingin seperti yang biasa ditemukan di distro atau toko-toko terkenal di mall. Biasanya kaos bagus di mall memiliki kisaran harga dari 89 ribu sampai 249 ribu. Jika ingin kaos Jogja yang murah tapi bagus, sebaiknya banding-bandingkan aja dari satu penjual ke penjual lainnya. Beda merk, beda standar harga. Merk yang sama bisa jadi dijual beda harga. Kadang sudah capek-capek nawar di satu penjual, ternyata dijual lebih murah di tempat lain. Intinya kalo mau murah, harus usaha. 

Kategori
Books section

The Silkworm

Resensi The Silkworm

Ulat Sutra


[Resensi] ‘Sekelumit perjalanan hidup seorang detektif pincang yang diselingi pembunuhan keji terhadap seorang novelis yang haus popularitas.’

Apa yang paling menarik dari sebuah cerita detektif? Ketegangan saat sang detektif berhadapan dengan penjahat? Kecerdasannya dalam menganalisis kasus dan menemukan bukti-bukti? Atau bagian penutup yang menampilkan bagaimana sang detektif mengungkapkan kebenaran dengan cara-cara yang tidak pernah terpikir oleh pembaca?

Kasus apa yang pembaca harapkan ditampilkan dalam sebuah kisah detektif? Pengungkapan kejahatan penipuan? Pencurian? Konflik pribadi sang klien? Perselisihan? Perselingkuhan? Atau pembunuhan? Para penggemar adrenalin tentu memilih yang terakhir, pembunuhan sadis yang pada umumnya berlatar dendam..

Setelah kehebohan kasus kematian selebriti Lula Landry yang fakta-fakta pembunuhannya berhasil diungkap oleh kegigihan seorang detektif partikelir berkaki buntung bernama Cormoran Strike (dalam The Cuckoo’s Calling), ia mendapat ganjaran dengan meningkatnya jumlah klien dan tentunya pendapatan yang masuk ke rekeningnya, hingga ia mampu membayar Robin, asistennya yang kini telah diangkat menjadi pegawai tetap. Meski kasus-kasus yang berdatangan cukup membosankan dan memaksanya untuk melakukan berbagai pengintaian di tengah musim dingin yang menggigit terhadap para kekasih yang dicurigai berselingkuh, setidaknya ia mendapat banyak pemasukan dari para pria dan wanita kaya yang bersedia membayar mahal. Ia membutuhkan uang.. dan pengalihan dari kehidupan pribadinya yang rumit dan getir.

Pada suatu hari, kepandaian, imajinasi, dan pengalaman Strike saat menjadi tentara di Unit Investigasi Khusus Angkatan Darat kembali diuji. Seorang wanita paruh baya, istri penulis mesum yang tidak terkenal datang ke kantor Strike untuk memohon bantuan. Suaminya telah pergi dari rumah selama 10 hari dan tidak ada kabar sedikit pun. Ia tidak mengharapkan kasih sayang dan perhatian dari sang suami yang tidak setia itu, namun ia dan putrinya yang menderita keterbelakangan mental tengah membutuhkan kehadiran dan sokongannya atas kehidupan mereka. Kasus ini tidak cukup potensial untuk mendatangkan uang bagi kantor detektif Strike, namun entah karena iba, penasaran, atau kata hatinya, Strike menerima kasus ini dan mengerjakannya dengan penuh kesungguhan.

Awalnya pencarian sang penulis terdengar cukup mudah, mengingat sempitnya lingkaran sosial sang penulis dan istrinya yang malang. Namun pencarian Strike hampir buntu meski sudah mengerahkan berbagai trik untuk meminta keterangan dari segelintir orang yang mengenal sang penulis. Setelah pencarian panjang yang dipersulit oleh cuaca ekstrim dan kondisi kakinya yang kembali memburuk, sang penulis akhirnya ditemukan oleh Strike sendiri, dalam keadaan tidak bernyawa, di lokasi yang paling sulit diduga oleh para kerabatnya sendiri. Tanda-tanda penganiayaan yang keji ditemukan di tubuh korban. Yang paling mengerikan, kondisi tubuh korban dan ‘panggung’ kematiannya ternyata ditata sama persis seperti akhir hidup tokoh utama yang ia tulis sendiri di manuskrip terakhirnya, Bombyx Mori, yang penuh kontroversi dan belum sempat diterbitkan. Tak ayal, para kolega dan kerabat yang digambarkan sang penulis dengan kejam dalam bukunya dan tentunya juga sudah pernah mengintip draft tersebut serta merta dimasukkan ke dalam daftar tersangka. Penghinaan fatal yang ia lakukan terhadap orang-orang terdekat dan para koleganya dari dunia penerbitan, serta rahasia-rahasia kelam yang terkuak dapat menjadi motif untuk pembunuhan itu.

Akan tetapi upaya Strike untuk mengungkap kasus pembunuhan itu terbentur hukum yang berlaku. Pihak kepolisian Metro – yang sinis terhadap Strike karena telah mempecundangi mereka dalam kasus Lula Landry – tidak mengizinkan Strike mengusik kasus ini. Strike dihadapkan pada pilihan: menyerahkan kasus tersebut sepenuhnya ke tangan polisi, atau mengeraskan hatinya untuk melanjutkan penyelidikannya. Sayangnya arah penyelidikan dan dugaan polisi tidak dapat diterima begitu saja oleh insting Strike yang cukup terlatih. Mau tidak mau ia, dengan dibantu oleh asistennya yang cantik, serta beberapa teman lamanya, melakukan upaya secara sembunyi-sembunyi guna menemukan pelaku yang sebenarnya dan menyelamatkan orang tak bersalah yang terjebak karena kebodohannya sendiri.

Strike, digambarkan dalam novel ini, secara perlahan tapi pasti, menyusun kerangka kasus ini dengan rapi. Ia menentukan para calon tersangka, mereka-reka motifnya, dan mengumpulkan bukti yang dapat memberatkan tersangka. Tanpa dukungan pihak yang berwenang dan akses yang cukup terhadap barang bukti, Strike meraba-raba kasus ini dengan sabar namun tetap awas terhadap setiap kemungkinan. Namun karena begitu banyaknya kebencian yang bertebaran dalam novel ini, pembaca akan sulit memilih mana tersangka yang memiliki motif paling besar untuk membunuh sang penulis. Keterangan demi keterangan yang dikumpulkan dari tiap tersangka tampaknya berdiri sendiri-sendiri dan tidak mengarah ke mana-mana. Hanya dengan keuletan detektif dan asistennya inilah, bukti-bukti baru ditambahkan dan terjalin benang merah yang bermuara kepada satu tersangka, pembunuh berdarah dingin yang tidak disangka-sangka (meski sebenarnya di awal Rowling sudah memberikan petunjuk secara tersirat)!

Perjalanan karir J.K. Rowling dalam dunia novel secara kebetulan mengiringi proses hidup orang-orang seusia saya. Dari masa remaja yang dihiasi oleh perjalanan hidup Harry Potter di Sekolah Sihir Hogwarts dari tahun pertama hingga ketujuh, karya-karya Rowling berlanjut beberapa tahun kemudian dengan hadirnya Cormoran Strike dalam serial detektif yang baru diterbitkan sebanyak 2 judul, yaitu The Cuckoo’s Calling dan The Silkworm. Para penggemar novel-novel bertema kriminal (misteri, detektif, hukum) pasti dapat menemukan perbedaan antara penuturan Sir Arthur Conan Doyle dalam Serial Sherlock Holmes dengan serial thriller karangan J.K. Rowling yang bercerita tentang kehidupan detektif partikelir, Cormoran Strike, dengan karakter dan latar belakang kehidupan yang sangat unik namun menyentuh. Meski sama-sama berlatar belakang Inggris, tampak perbedaan yang nyata antara Sherlock Holmes dan Cormoran Strike. Jelas bahwa J.K. Rowning membawa nuansa baru dalam fiksi detektif masa kini.

Pada masa hidup Sherlock Holmes di akhir abad ke-19, di mana teknologi masih cukup primitif, segala macam keahlian Holmes sangat diandalkan dalam memecahkan berbagai kasus kriminal. Ia dapat melenggang ke dalam suatu perkara, mengacak-acak barang bukti, hingga memberi perintah pada pihak kepolisian, dan pada akhirnya membongkar fakta-faktanya dengan sangat brilian. Tak jarang bukti-bukti yang ia dapat akhirnya diandalkan oleh para penegak hukum sebagai dasar penangkapan dan pemberian hukuman terhadap para penjahat.

Namun berbeda halnya dengan Cormoran Strike yang di era modern ini tidak memiliki yurisdiksi atas korban dan tempat kejadian perkara, ia tidak dapat meneliti barang bukti dengan mata kepalanya sendiri. Bahkan bukti-bukti yang didapatkan dengan susah payah atas inisiatifnya sendiri pun harus segera diserahkan kepada pihak yang berwenang dan hanya boleh diproses oleh institusi-institusi resmi pemerintah. Strike harus memutar otak agar dapat menggali fakta dari luar lingkaran kasus tersebut. Dengan metodenya sendiri Strike dapat meminta keterangan dari para saksi, mengorek informasi yang tidak disadari berguna dari orang-orang yang pernah bertemu korban – yang umumnya enggan membuka diri karena takut terlibat, mengumpulkan bukti-bukti tidak langsung, lalu mengonfirmasi alibi, motif, dan kesempatan untuk melakukan kejahatan yang dimiliki oleh pelaku. Dengan kepandaian dan pengalamannya, serta bantuan dari asistennya yang pernah mengecap pendidikan psikologi, Stike dapat merangkai fakta demi fakta dari keterangan-keterangan terpisah yang ia dapat dari berbagai sumber, ditambah sedikit barang bukti dan petunjuk yang tepat, hingga terbongkarlah kasus tersebut.

Sosok Cormoran Strike dengan wajah tidak menarik dan tubuh seperti raksasa yang berjalan tertatih-tatih mungkin tidak akan mudah membuat pembaca jatuh hati. Namun perjalanan hidupnya yang pilu, keuletan, dedikasi, dan ketulusan hatinya pelan-pelan menarik simpati dari para pembaca. Karakter pahlawan yang manusiawi, dengan banyak kekurangan namun memiliki moral yang baik, sangat dibutuhkan saat ini. Sayangnya tema pembunuhan yang terlalu sadis, dibumbui kisah mesum dan perselingkuhan yang kurang mendidik membuat novel ini kurang pantas untuk dibaca oleh pembaca yang belum dewasa, meski dengan bimbingan orang tua. Satu pengulangan kecil di BAB 1 (“Langkahnya yang tidak seimbang terlihat makin kentara…”, hal.10; dan “…ketimpangan Strike semakin tampak jelas seiring tiap langkah.”, hal.14) memberi kesan bahwa Rowling agak terburu-buru menyelesaikan novel ini. Di samping itu, deskripsi berlebihan (khas Rowling) mengenai latar dalam beberapa adegan dalam novel ini cukup membosankan. Selebihnya, sebuah kisah misteri, dunia detektif yang menegangkan, sedikit permainan psikologi, dan ditaburi drama sentimentil, serta penggunaan istilah-istilah medis berbahasa latin membuat The Silkworm sangat menarik dan menghibur. 4 of 5 stars dari saya!

· Judul : Ulat Sutra (The Silkworm)
· Pengarang : Robert Galbraith (Nama alias dari J.K. Rowling)
· Alih Bahasa : Siska Yuanita
· Penerbit : PT.Gramedia Pustaka Utama
· Tahun terbit : 2014
· Tebal : 536 hlm
· ISBN : 978-602-03-0981-1

Follow @raiyaroof on twitter